Sekolah Tinggi Teologi Trinity Parapat

Bagaimana Bertheologi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Email
Telegram

STT Trinity – Dua minggu yang lalu, diadakan sebuah pembinaan di sebuah Gereja di wilayah Cinere. Sebenarnya, Gereja tsb sudah rutin mengadakan pembinaan bagi warga jemaat, yang disebut dengan PTJ (Pendidikan Teologi Jemaat). Itulah sebabnya, anggota jemaat yang memang rindu untuk dibina, biasanya menyambut PTJ dengan sukacita dan penuh semangat.

Namun kelihatannya, PTJ pada saat itu, lain dari biasanya. Beberapa anggota jemaat kurang bersemangat dan cemas menyambutnya. Mengapa? Menurut pesan singkat (sms) yang diterima oleh istri saya, seorang anggota jemaat mengatakan keheranannya dengan pembicara yang diundang. Masak sih orang tersebut diundang di Gereja? Bukankah dia telah membingungkan jemaat dengan artikelnya yang dia tulis pada sebuah media pada waktu yang lalu? demikian bunyi pesan singkat tsb.

Saya mengerti kebingungan yang ditunjukkan oleh orang-orang tsb. Jujur saja, saya juga heran dan memertanyakan motivasi mengundang pembicara tersebut. Mengapa? Karena lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya telah mengenal orang tsb sebagai seorang penulis dan pembicara yang cukup provokatif. Hal yang sama ditegaskannya ketika beberapa kali berkomunikasi dengan saya melalui surat elektronik (email). Orang tersebut seringkali mengatakan atau menuliskan pandangan yang bertentangan dengan apa yang telah lazim diyakini oleh jemaat, yang juga berbeda dengan pernyataan Alkitab itu sendiri. Karena itu, artikel-artikel yang dikirimnya atau yang dikirim oleh para pengagumnya ke berbagai groups atau mailing lists seringkali ditanggapi dengan pro-kontra. Demikian juga, artikel yang ditulisnya dua bulan yang lalu di sebuah media nasional telah membingungkan banyak orang, khususnya yang belum mengenalnya secara pribadi. Bagaimana tidak? Salah satu pengakuan iman Gereja yang paling mendasar adalah tentang kebangkitan Yesus dari kubur. Hal itulah yang diikrarkan oleh jemaat setiap hari Minggu. Namun demikian, dalam sebuah tulisannya pada media tsb di atas, orang tsb menegaskan hal yang berbeda: tulang belulang Yesus ditemukan di Talpiot; kebangkitan Yesus merupakan metafora, kiasan, bukan kejadian sejarah objektif (Baca, Kompas, 5 April 2007).

Membangunkan atau Membingungkan?

Kembali kepada pembinaan tsb di atas. Rupanya, bukan saja pembicaranya yang mengundang tanya. Tema yang diberikan juga demikian: Injil Yudas. Apa tujuannya memberikan tema tersebut kepada jemaat? Menurut seorang majelis, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Injil Yudas itu, menyesatkan. Injil Yudas tersebut tidak boleh disejajarkan dengan keempat Injil: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Dengan demikian, jemaat diharapkan semakin menghargai dan mencintai Alkitab.

Lalu, bagaimana hasilnya? Nah, di sinilah masalahnya. Sebagaimana telah saya duga sebelumnya, dalam pembinaan tsb, pembicara telah mengatakan kalimat-kalimat yang biasa disebut oleh teolog-teolog liberal, tapi tidak biasa didengar jemaat. Dia juga menegaskan kemungkinan melakukan rekanonisasi Alkitab. Maksudnya, menambah atau mengurangi kitab-kitab dalam Alkitab (66 kitab yang terdiri dari 39 PL + 27 PB).

Dalam makalah yang diberikan, pembicara dengan tegas mengatakan kesalahan penulis-penulis Alkitab, seperti Lukas dan Yohanes memerlakukan Yudas. Menurut pembicara, penulis-penulis Injil telah mendiskreditkan Yudas sebagai penghianat; padahal, bukan. Sehubungan dengan itu, ketika Lukas menulis kisah Iblis yang memasuki Yudas (Lukas 22:3), kelihatannya, pembicara mencoba membela Yudas dan menyalahkan Lukas. Itulah sebabnya, dia menulis: Gambaran Yudas yang dirasuk Iblis dengan demikian adalah gambaran yang sangat menghancurkan Yudas (halaman 5). Selanjutnya, ketika tiba kepada Injil Yohanes, dia menulis: Di dalam Injil Yohanes, pendiskreditan atas Yudas terjadi menyeluruh. Yudas adalah Iblis… (halaman 6). Selanjutnya, pembicara menegaskan bahwa untuk itulah Injil Yudas ditulis, yaitu untuk meluruskan pengajaran yang salah tersebut. Dalam Injil Yudas, perbuatan penyerahan diri Yesus itu dipuji, dan Yudas menjadi seorang hero… (halaman 10).

Dengan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, tentu saja, pembinaan jemaat yang diharapkan membangunkan iman jemaat, dalam kenyataannya, tidak demikian. Jemaat malah dibingungkan. Hal itu nampak jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Misalnya, seorang bertanya: Jika Injil Yudas adalah seperti yang bapak sampaikan, di mana posisi bapak? Bagaimana sikap bapak terhadap kanon Alkitab yang sudah ada? Sementara itu, seorang yang sudah lanjut usia maju ke depan dan dengan nada yang emosional berkata: Dalam usia saya seperti ini, belum pernah saya mendengarkan pengajaran seperti malam ini. Belum pernah saya mendengar adanya Injil lain selain Injil yang kita miliki. Saya tidak rela jika ada Injil lain yang disejajarkan dengan Injil yang telah kita miliki.

Mengapa dapat terjadi seperti hal di atas? Apakah hal-hal seperti itu dapat dibiarkan demi kebebasan berekspressi dengan berbagai pemahaman teologi yang dianut? Saya harus menjawab dengan tegas: tidak! Hal itulah yang diperingatkan rasul Paulus kepada orang-orang yang merasa bebas mengungkapkan imannya di Korintus: Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah (1Kor.8:9). Seruan tersebut penting untuk kita hayati bersama, khususnya para pejabat tinggi Gereja, seperti pendeta dan majelis. Seruan tersebut sangat penting dan relevan diperhatikan demi pertumbuhan iman jemaat. Seorang professor di Trinity Theological College pernah menasehatkan mahasiswanya: Anda bebas berteologi. Tidak ada seorang pun yang melarangmu. Tetapi berhati-hatilah, jangan sampai anda menghancurkan iman jemaat.

(Sinar Harapan, 23.6.2007)

Scroll to Top